Ceritanya, sudah waktunya untuk donor darah lagi. Saya dan teman saya, Berlian Bunda Syah sudah janjian untuk donor darah setelah acara buka puasa di LP3I Course Center Simpang Lima. Saya juga tidak tau bagaimana cara Berlian mengajak, yang pasti ada lima orang yang akhirnya pergi ke UTDD PMI DKI Jakarta di Kramat Raya.
Empat dari lima orang mengisi form donor darah, dan tiga orang dinyatakan bisa mendonorkan darah. Itu adalah saya, Berlian dan satu orang yang lain.
Saat baru masuk, sebenarnya ada banyaaaaaaaaaaaaaaaaaaakkkk orang yang mau mendonorkan darah, tetapi kenyataannya adalah sebagian besar dari mereka adalah donor keluarga/pengganti alias orang yang mendonorkan darah karena ada keluarga atau kenalan yang membutuhkan darah.
Baru saja mengisi formulir, sudah ada orang yang mendekati, dan menanyakan apakah ada di antara kami yang memiliki golongan darah O. Terus terang saya meringis mendengarnya. Orang yang memiliki golongan darah O itu sangat banyak, kalau sampai kehabisan, berarti stok darah memang sudah sangat menipis.
Saya golongan darah O, tetapi ketika ditanya apakah saya mau mendonorkan darah saya untuk suaminya, saya menjawab saya lebih memilih untuk menjadi donor sukarela, alias orang yang mendonorkan darahnya tanpa menentukan kepada siapa darah itu akan diberikan. Saya dan ilmu saya membuat saya bertahan untuk tetap menjadi donor sukarela.
Ibu itu pergi dengan lemas.
Saya mungkin tidak akan terlalu banyak memikirkannya kalau saja orang ketiga yang mendonorkan darah itu tidak berada dalam posisi yang sama.
Ada orang yang meminta dia untuk memberikan darahnya untuk keluarga orang tersebut. Berbeda dengan saya, kebaikan hatinya membuat dia mengiyakan.
Proses donor darah berlangsung lancar sampai selesai. Setelah selesai, dia sempat mengeluh pusing. Satu yang pasti, dia masih tetap tersenyum. Terus terang saya sangat salut sama dia.
Saya mencoba menenangkan, mengatakan bahwa donor yang baru pertama kali memang ada yang merasakan pusing. Saya juga hanya bisa pasrah saat mengatakan bahwa donor kedua dan ketiga biasanya tidak lagi merasa pusing, tapi keputusan tetap ada pada dia. Keputusan mengenai apakah ingin mendonorkan darah lagi atau tidak.
Bila tidak, maka saya tidak akan memaksa dia untuk mengubah pendapat.
Saat itu lah orang yang meminta darahnya datang. Menyalaminya sambil dengan khidmat mengatakan “Terima kasih”.
Saya hanya bisa diam, dan kemudian berbisik pelan kepadanya, “Kamu sudah membantu menyelamatkan satu jiwa.”
Yang pasti, saya sempat mau menangis ketika kemudian Berlian mengirim SMS yang berisi kesan yang diberikan oleh pendonor ketiga tersebut. “Terima kasih saya sudah diajak untuk mendonorkan darah, dan saya tidak kapok. Saya mau lagi. Baru pertama saja, sudah ada yang minta. Berarti benar setiap tetes darah kita berharga.”